Iklan

“Awalilah Kehidupan dengan Tawa dan Canda Seperti kita Menyambut Sosok Bayi Mungil, Akhirilah Kehidupan juga dengan Tawa dan Musik Bersuka Cita atas Kelahiran dan Kematian”

Admin
Senin, 06 September 2021
Last Updated 2022-12-08T18:11:20Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini
              “Muhammad Kasim Faisal”

Pagi yang buta, dikala burung-burung sudah mulai keluar dari sarangnya dan menjemput sang surya. Dedaunan pohon yang masih begitu lembab dan basah, ranting pohon tergoyah tertiup angin gunung yang dingin tertegarlah suasana hidup yang diawali dengan pagi yang disambut oleh para mahluk Tuhan yang berbising sesuai denga irama kehidupan.

Suara burung yang berkicau dikala mentari menampakan cahaya dibalik bukit yang hijau seirama dengan tangisan dan nyanyian burung sama merdunya. Aku..!! Selalu mengagumi jika rencana Tuhan atas mahluknya begitu lengkap dan atas izin-Nya canda dan kebahagiaan itu hadir…!

Aku…. Menandang jauh mengarah kedepan dibalik bebatuan-bebatuan gunung yang menjulang tinggi, angin gunung terus menghembuskan hilir kehidupan, ranting, daun serta batang pohon menunjukan kebahagiaanya melalui cara memainkan irama angin yang menggoyahkan ranting dan daun sebagai bukti kebahagiaan..!!

Satu awal kehidupan untuk seorang anak yang baru dilahirkan dan suatu petaka untuk sesorang mengakhiri kehidupan. Manusia jika dilihat dalam pandangan Agama (Islam) merupakan suatu amanah yang harus dijalankan sesuai dengan tuntutan atas dasar perjanjian sebagai penghuni, pengelolah, pemberdayaan, pemberdaharaan hingga sebagai pemimpin yang baik.

Bermulanya kehidupan menandakan peletakan pertama titik mata rantai menyambut kehidupan yang selanjutya. Kehidupan diawali dari sebuah rencana oleh sang-Khalik kepada makhluk untuk mengenal dan selalu mengenalnya secara langsung ataupun secara abstrak. Mata rantai yang dijadikan sebagai tolak ukur sebagai pijakan pertama untuk mengasah segala sesuatu yang telah dijanjikan termaktub dalam kitab-kitab suci dan terus tergambarkan.

Aku lupa akan satu hal yang tak seorangpun merasa bosan…!!!
Suara air yang mencoba melengkapi cakrawala alam untuk memperindah suasana bagi penghuninya untuk dinikmati. Suara alam yang selalu mencoba merayu manja manusia sebagai mahluk penikmat yang sering melupakan secara harafiah identitasnya dari alam, sebagai pepatah Sufi “Manusia adalah keutuhan dari alam semesta, dan semesta merupakan pembiasan dari diri manusia yang satu”.

Hempasan buih air yang turun melalui lembah, melewati sungai dan memaksakan diri untuk melewati tebing yang curam. Merelakan suara dan hembusan yang lembab menghijaukan pepohonan dan merelakan dirinya untuk dinikmati oleh mahluk lain dalam kehausan untuk menghilangkan dahaga meskipun hanya sekejap.

Aku tersenyum akan semua yang sering terlintas…

Seperti halnya para filsuf Yunani, yang pada zamanya memberikan ribuan pengetahuan dan pemahaman dengan menggunakan alam sebagai media untuk memberikan ilmu dan pemikiran. Aku terpikirkan dengan salah satu tokoh pemikiran Yunani yang dermawan serta memiliki pribadi yang bijaksana *tak perlu menyebut* pernah mengatakan “alam dan semesta bentuk dari keinginan manusia sebagai penerima, maka harus menjaga dan merawat secara bijaksana, Jika manusia merusakinya maka sama halnya merusaki diri kita sendri”.

Dipagi itu, sekumpulan anak-anak bermain-main dengan menggunakan alat secara tradisional yang mengundang canda dan tawa kepada siapa saja yang lewat. Menikmati seluk-beluk kehidupan yang pahit tanpa mengenal kata “Dosa dan lelah”, alam yang mengatur segalanya hingga menembus kedalam jiwa tanpa tanda tanya.

Aku jadi teringat, saat-saat dimana aku, kamu, dia, kita serta mereka pada waktu sebelumya. Bermain bersama, bercanda hingga kita terbawa emosi, masa-masa yang sangat rumit untuk dihilangkan oleh zaman. Setiap lekukan lorong-lorong kecil, disela-sela rumah tersimpan banyak kenangan yang ditutupi oleh waktu, diselesaikan oleh pikiran yang semakin dewasa dan ego yang tak bisa dibendung oleh pikiran dan jiwa.

Masih banyak bayangan tawa dan bahagia dari kerabat yang dulu, teman, musuh yang tak selamanya jadi musuh dalam bualan semata. Bibir pantai yang panjang terhiasi oleh pasir hitam tertutupi sedikit lumpur, bebatuan alam yang licin jika terinjak kaki yang telanjang mencoba meneriaki semua yang terjadi, angin pantai yang sejuk mencoba menjelaskan yang telah terlewati serta pecahan ombak yang menggulung pantai meneriaki waktu yang terlewati tanpa disadari.

Kita sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, mengandalkan indera sebagai media perekam dan berupaya mengembalikan yang terlewati, namun kemustahilan hadir membatasi ruang itu, cukup pikiran yang menciptakan imajinasi untuk mengisi segala sesuatu telah terlewati, bayang pengalaman selalu menghantui dengan seni dan sastra dan kiasan pikiran yang tergambarkan halusinasi atas keinginan fatamorgana yang membeku.

Seperti sebuah hikayat yang menceritakan seni kehidupan yang berlangsung begitu mendalam, tanpa harus ada celoteh anak yang memprotes dari setiap alur cerita yang disusun melalui ilusi-ilusi berkeping.
Mata….!!!
Iya…?

Mata instrument kehidupan yang terbatas untuk menilai apa yang dilihat, selalu menipu dirinya untuk memilah dan memilih suatu keindahan dan yang buruk, tercela dalam pelipis didalam hitam dan putih tercermin hayal.

Udara begitu dingin, angin sepoi-sepoi ditepi pantai menghampiriku dan memberiku kabar, warna, carut dan marutnya sebuah perjalanan menuju puncak kehidupan. Aku mengingat salah satu ucapan yang indah yang dikatakan seorang penyair handal timur tengah, Jalaludin Rumi namanya, dia berkata “Betapa bahagia saat kita duduk di istana, kau dan aku, Dua sosok dan dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku”. Serpihan kalimat memaksaku untuk berpikir dan terus bertanya tentang segala sesuatu yang terlintas, tersusun rapi dalam prosa kehidupan.

Ternyata, ketika kita sebagai manusia ibaratkan sebuah Perihal yang bisa hanya mengikuti apa, mengapa, kapan, diamana, bagaimana dan seperti apa yang ditujukan kepada kita. Sebuah dugaan terlintas dalam benak untuk memaksaku memahami serta mencari tahu tentang hakikat yang mendasar dari “Istana” itu, mulailah sedikit memberikan gambaran yang mentah, apakah harus menggunakan mata secara materil? Ataukah harus menggunakan mata hati secara intuisi?
Aku memprotes kepada mata ini yang menipuku dengan mejanjikan keindahan “Istana” yang megah, indah, bagai permadani tergambarkan dalam cerita hikayat seorang Raja dan Ratu. Aku mencoba menemukan “Istana” itu dengan menggunakan “mata ku” yang kutemu hanyalah kerikil-kerikil tajam yang berserakan dijalanan. Kerikil-kerikil itu menebas kakiku dan melukai kulitku saat langkah ku pijak.

Kini aku mencoba memprotes kepada “mata hati” yang selalu membisiku, merayuku dan memaksakan aku untuk mengikuti isyarat-isyarat dibisikan langsung melalui dadaku hingga menembus dan tersimpan dalam inginku. Aku mulai melangkah jauh untuk menemukan “Istana” itu, semakin aku mencari, semakin aku kehilangan arah, semakin jauh termakan oleh jarak, semakin hilang jarak pandang yang kulihat. Mulailah terhanyut dalam pencarian itu, terhayut dalam keinginan “mata hati”.

Dikejahuan, terlihat sekelompok pemuda dan pemudi duduk bercengkrama, entah apa yang dibahas atau didiskusikan. Tawa, candaan, kebahagiaan tercermin melalui setiap gerakan dan pelampiasan hasrat. Tak ada beban yang menjerat leher, tak ada duka yang meratapi tangis hanyalah sebuah kebahagiaan yang hakiki. Sebuah kebahagiaan yang dihadirkan melalui beban emosi, tanpa harus memikirkan yang telah dilewati, dijalani dan entah apa yang harus disambut setelahnya.

Aluanan musik yang mereka mainkan, nada yang tersusun rapi seperti nyanyian burung Cendrasih terhadap pasanganya. Irama yang dinyanyikan seakan-akan memaksakan daun, suara ombak dan angin untuk mengikuti setiap irama yang dinyayikan. Seperti salah seorang pemuka pendidikan dan agama yang mengatakan “Agama itu ibaratkan musik, jika memainkannya dengan baik maka yang didengar juga baik dan jika memainkan tidak baik maka tidak baik juga bagi pendengar”. Itulah, mengawali arti dari kesimpulan hidup, tak segampang menghitung pasir di gurun yang luas dan tak semudah menghitung buih-buih ombak disamudra yang luas.

Matahari pagi sudah menujukan wajahnya secara berlahan dibalik bukit yang hijau, selalu menandakan arti kesibukan untuk siapa saja yang beraktivitas. Tanpa di sadari, kebutuhan menuntut dalam bayang tak tentu dan memaksakan kita untuk memenuhinya. Tanpa lelah dan perih, keluhan dan lemas tak pernah dipikirkan sebagai penghambat. Sepertinya, semua akan baik-baik saja.

Waktu yang berputar begitu cepat tanpa seorangpun yang bisa menghentikan dan mengubahnya. Dibalik aktivitas yang menyibukkan aku melihat seorang anak kecil memegang dua buah kelapa dan seorang ibu paru baya memaksakan tubuhnya untuk membawa seikat tumpukan kayu bakar dipundaknya. Setiap langkah kecil dari sepasang anak dan ibu selalu seirama dengan percakapan yang seru, biar hanya didengar sekilas. Sebut saja Dani (anak) dan Rahma (ibu).

Ibu: Dan (sapaan biasanya)…….. kamu tak lelah, sepulang sekolah selalu mengikuti ibu ayah sama ibu pergi ke kebun setiap harinya?

Dani: tidak ibu, Dani malah merasa senang membantu ibu dan ayah di kebun, supaya dapat uang agar Dani bisa sekolah lebih tinggi lagi.

Ibu: …..! (dengan senyum yang halus) iya….! Tapi, Dani juga harus rajin sekolah dan belajar, biar cita-cita bisa tercapai dan buat ayah sama ibu bangga.

Dani: kalu Dani besar nanti, Dani akan kerja cari uang yang banyak agar ayah dan ibu tidak ke kebun lagi mengangkut kayu dan kelapa.

Ibu: iya…..!! semangat sekolahnya dan belajar. Oh iya,,, kita istrahat dulu… (sambil menurunkan barang-barang bawahan mereka berdua.

Dari wajah anak kecil mungil itu, tertampak banyak hari-hari yang dia lewati, bermain-main seperti anak-anak yang lain, menikmati masa-masa yang baik dan menikmati kehidupan selayak anak-anak desa yang lain. Akupun menyahut dan memberikan senyum untuk mencairkan suasana. Oh iya, mereka berdua istrahat di tempat duduk yang aku duduki. Sahutanku sederhana…!!

Aku: dari kebun ya bu..?? (sambil senyum mencairkan suasana).

Ibu: iya…! Biasa,, di desa kerjanya bukan ke kebun pastinya ke laut cari ikan untuk di jual atau makan hari-hari. Oh iya, aku lupa….! Desa yang kecil itu, untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, sebagian besar masyarakatnya adalah petani dan nelayan.

Aku: berduaan saja sama Dan..? hebat ya,, Dani bisa membawa dua buah kelapa…(saling memuji)

Dani: (sambil tersenyum) iya kak, buah kelapa ini dijual dan membeli buku dan pensil sebagai peralatan sekolah. Oh iya.. kak sekolah lagi..?

Aku: Iya Dan..! kakak sekolah, tapi bukan di sekolah. Tapi, kakak kuliah, Dani tahu kan yang biasa disebut mahasiswa.?

Dani: tahu kak…! Dani juga ingin kuliah seperti kak.

Aku: sekolah dan belajar yang rajin agar bisa mencapai cita-cita yang Dani harapkan.

Ibu: jalan dulu ya…! Nanti baru ngobrol lagi.

Aku: iya….(sambil menyahut)
Hikmah sebuah kehidupan bukan hanya terletak antara waktu asyar dan subuh bukan pula terletak pada waktu fajar hingga senja. Kesederhanaan kehidupan terbentuk sejauh mana antara pikiran dan hati bisa bersama untuk mengguluti proses diantara siang dan malam, diantara fajar sdan senja. Sebuah keabadian hadir atas dasar keinginan dan usaha terpatri dalam doa yang ikhlas.

Seperti yang dikutip salah satu filsuf Islam yang memiliki banyak pemikiran tentang arti dan kesederhanan kehidupan, sebut saja (Al-Gazali) mengatakan “Hiduplah kamu bersama manusia sebagaimana pohon yang berbuah, mereka melemparinya dengan batu, tetapi ia membalasnya dengan buah”.

Tak perlu merasa bangga dengan ke-tidak-apaan dan tak perlu memperluas kemurkaan jika tak seorang pun merasa takut. Seperti ranting yang menjulang menahan tiupan angin untuk memberi kesejukan kepada mahluk yang lain.
Suasana yang seakan membuat ku melarat….!!!

Tak perlu kita memalingkan wajah yang penuh dengan salah Kehidupan, memaksakan kita untuk terus berlari dalam kenikmatan tanpa batas
Seperti kawanan singa berlari kencang untuk mendapatkan hasil buruan
Memungkinkan untuk melanjutkan kehidupan hari esok dan terus ke hari esok…!

Waktu terus berputar dan terus mengisahkan kedepan yang sudah terlewati, sentuhan angan anak manusia yang meneriaki nasib, menyelimuti kehampaan untuk berjumpa dengan kenyataan.

Kadang merasa kecukupan
Kadang merasa berlebihan
Kadang merasa kekurangan
Hiduplah seperti pohon yang berbuah, mereka melemparinya dengan batu tetapi ia membalasnya dengan buah..!!
Dalam artian keawalan dari kehidupan dari fajar dan pagi yang buta maka harus diakhiri dengan petang dan senja yang buta pula…!!

Hari Ke 2
“Iman kompas dari suatu keyakinan
Ilmu kompas dari suatu kehidupan
Amal kompas dari perbuatan”

“Hasil Canduan Biduan Malam”

Sebuah perbincangan yang kadang “intuitif” sehingga banyak kalangan yang sering membuat stigma dengan kesimpulan tersendiri. Kesimpulan yang dibuat kadang dibuat ngaur terhadap orang-orang atau oknum yang menganggap itu biasa-biasa saja. Mungkin sudah dipahami dalam segi bentuk, entah apa yang disimpulkan dari pembicaraan itu, hadir dari suatu ucapan yang ringan, susah untuk diterka, cukup keliru untuk dimengerti namun mudah terasa sulit untuk dijalankan.

Disela-sela langkah untuk menikmati tiupan angin yang segar ditepi pantai yang sunyi, menginginkan suatu keajaiban yang tiba-tiba tertampak dihadapanku, memegang lengan kanan dan memberikan gambaran singkat untuk ku raih. Iya…! Meng_ada_kan kemustahilan, menghilangkan yang realitas.

Ada suara tangis anak kecil mungkin meminta susu kepada ibunya, atau diminta gendong oleh sang ayah, bisa saja karena kenakalan yang dibuat sendiri..!
Sebuah keajaiban hadir melalui suara tangis yang menyeduh keheningan malam itu, memaksakan waktu lebih cepat berputar menjemput fajar yang dingin ditutupi kabut yang lebat.

Suara Azan dilontarkan sang mu’azin memberikan isyarat melaksanakan dua rakaat dari suatu peribadatan, ikrar, perjanjian hingga penyerahan diri dan jiwa kehadapan sang khaliq.

Setelah ikrar dan penyerahan diri ditunaikan memaksakan orang yang beriman mengangkat tangan seraya meminta-minta atas keinginan untuk dikabulkan. Angin dingin mencoba merayu embun untuk bersenggama bersama bunga yang mekar, ada bincang-bincang kecil dari kejahuan antara dua manusia parubaya sedang mencairkan suasana dengan perkara Iman. Sebut saja Pak Imam Masjid dan Pak Modim Masjid. 
Jika kita lihat bersama, perkara Iman merupakan sesuatu yang sangat fundamental, menjiwai setiap sisi-sisi manusia dari segi pemikiran dan rasa, Tuhan, Nabi, Mahluk hingga pada bentuk dan rupa antara jin dan bangsa setan sebagai suatu dasar keutuhan penciptaan Tuhan yang maha Esa.

Seperti halnya sang Robbi memberikan kasih dan cintan-Nya terhadap mahluk, sebagai seorang hamba yang memili iman yang utuh diperlukanya pengecualian terhadap yang pencipta dari Illah-Illah lain selain yang Esa. Seperti Fir’aun dan Syaitan, yang selalu menyangkal dan membanggakan diri terhadap segala sesuatu yang dititipkan dan diberikan. Halnya seorang Sufi terus dan terus mencari arti sebuah kehidupan, antara “Baqa” dan “Fana”, antara “Hidup” dan “Mati”, dan antara “Meyudahi adanya ‘Ada’”, serta yang “Haq besar” dan “yang haq kecil”, mejadikan bentuk pemurnian “arti” dari sebuah “iman” secara terbalik.
Seperti yang telah dikutip dalam carah yang dilontarkan oleh Fakhruddin Faiz, mengutip pemikiranya Ibnu Junaid dalam pandangan Al-Khalaz tentang kelahiran manusia dan ketauhidan atas dasar iman, yang mempercomtohkan antara dua mahluk Tuhan yang memiliki “kesombongan” dan sifat “membangkan” yang luar biasa, Fira’aun dan Syeitan.
Dalam pemikiranya Al-Khalaz megatakan bahwa Syeitan adalah gurunya dan Fir’aun adalah sabatnya pada melakukan pencarian cinta kasih (Mahabbah) terhadap Tuhan. Jangan jadikan kesombongan, ketidakpatuhan serta sifat sirik Fir’aun dan Syeitan sebagai rujukan “Negatif” dalam memaknai sebuah iman terhadap Tuhan yang menciptakan dan mengetahui segala kehendak dengan “ke-maha kuasa-Nya”. Iman, bentuk sebuah “Negasi” dari Iman secara “fundamental” dari kalimat “Illah” terhadap segala sesuatu yang “baqa”.

Terlalu jauh terhanyut dalam sebuah halusinasi “iman’ sehingga lupa…!!
Terlalu jauh ….!
Teralalu melampaui batas…!!
Rasio hanya sebatas tumpangan…!!!

Gerimis menyamput percakapan yang sedikit medalam antara Pak Imam dan Pak Modim
Mungkin, terbawa suasana yang sejuk sambil menunggu terbitnya matahari
Atau..,,?

Saling memberikan pemahaman terntang seputaran agama perkara iman, manusia, alam semesta dan Tuhan sebagai pencipta.

Aku pernah mendengar bahkan membaca suatu kisah, yang menceritakan antara perseturuan iman dan cinta.
Aku pernah mendengar dan membaca setiap kisah, yang memaknai antara iman dan cinta yang dimainkan oleh para aktor-aktor yang berkedok “Ulama”

Sebuah perjalanan panjang, menulusuri lorong-lorong kepercayaan yang memaksakan “akal” sebagai instrument untuk menerka segala bentuk rupa yang direkam, segala bentuk keniscayaan yang dirasakan, sehingga tubuh tersungkur jatuh di dalam lembah gelap yang dibingkai oleh dunia “Fenomena” tersingkir oleh aksara “Nomena” tersusun rapi tas nama kitab dan perkataan Tuhan.

Sebuah pembelajaran panjang untuk mengukir langkah kaki menuju yang ingin dicapai, ribuan cara terlewatkan begitu saja, tanpa menengok apa yang terjadi sebelum dan setelahnya. Mempelajari seni kehidupan, segalanya melalui penolakan secara fundamental, penolakan secara logis dan rasio

Sebuah kesadaran terbentuk dari hasil rekaman indrawi. Sebuah keinginan hadir atas dasar emosional manusiawi, Sebuah idea hadir dari sebuah keresahan yang nyata. Sebuah pemberontakan jiwa mengalir di dalam tubuh manusia…
Dan sepenuhnya terpasrahkan oleh “Alibi” indrawi…!!

Di depan mata terasa jauh dari genggaman tak terjangkau.

Seperti pecahan ombak yang menghantam batu karang yang tersusun atas haknya, Belaian udara sore memberikan banyak arti sebuah pemahaman dan kesinambungan akan hidup lebih berarti.

Senja…!!
Mengantarkan senyumnya yang merindukan banyak arti dari awal fajar menjelang siang…!

Anak-anak bersuka cita menyambut datangnya malam untuk mengakhiri hari ini yang penuh dengan kerumitan, kesedihan, sakit, kebahagiaan sampai pada masa dimana semua tak terbentuk lagi oleh waktu yang terus berputar.
Hijab-hijab langit kini tertutup kembali, seiring dengan tenggelamnya sang surya dibalik awan-awan yang empuk yang ditukangi dengan diding langit dan gunung berdiri tegak.

Alangkah menabjubkan keidahan yang tak seorang pun bisa membuatnya…!!

Seharusnya kita sadar…
Tuhan maha kuat dan maha indah
Membuat dan membentuk segala rupa atas keinginan-Nya yang nyata
Seakan bibir pantai ini berteriak seiring dengan udara segar di sore hari
Pancaran sinar matahari sudah mulai mendingin. Menyejukan raga, menyejukan hati, menyejukan tubuh kepada siapa yang merasakan kenikmatan tanpa ada tanda tanya. Kini semua panca indara ku mulai kaku membungkuk dengan semua yang terlantun dalam ayat-ayat semesta.
Yang menghujat tubuh ini dengan nyanyian alam terasa surgawi yang terus dan terus menjanjikan kesenangan yang morgana dan nyata. Pikiran ku tak lagi mampuh menjelaskan, Definisi telah habis termakan ribuan sahutan pengertian, Suara alam seakan menceritakan dengan menggunakan aksaranya sendiri…
Mungkin ilusi yang tak bertepi memainkan makna dibalik nyatanya gambaran sang Tuhan

Yah….!!
Aku terjebak lagi…!!!
Terjebak akan semua yang menghujat akal
Terbatas akan penglihatan
Terbatas akan pendengaran
Terbatas akan apa yang diterka
Terbatas akan apa yang dirabah
Terbatas akan semua yang tak mampuh lagi dikelolah oleh akan dan indrawi

Hanya “satu” hal yang terpenting…!!!
Iman akan setiap yang terlihat
Iman akan setiap yang dirasakan
Iman akan semua diserap oleh akal dan idrawi Sebuah tolak ukur awal untuk menguhkan akan Tuhan atas penciptaan-Nya.

Seperti sebuah rayuan hamba terhadap hamba yang lain dengan perantara risalah Tuhan Jalaludin Rumi pernah berkata “Dunia yang hina ini diberikan kepadamu untuk sementara. Tersedia sebuah tangga yang dengannya engkau dapat bercita-cita. Apa yang menyakitimu, memberkatimu. Kegelapan adalah lilinmu. Keakraban dan keramahan lahir bila jiwa kita jadi gembira”.
Dunia…!!

Dunia merupakan ajang untuk mencari amal kebaikan dan amal keburukan
Tergantung pada bentuk atau wadah yang dia renangi Sebuah tempan pencarian jati diri Baik pada tempat yang salah ataupun benar tergantung dia yang menyadari.

Seperti gerombolan anak yang bermain, bercanda hingga pada tergores luka dari diri mereka yang berlebihan tertawa
Ada yang terjatuh, ada juga yang saling mengejek, menertawakan tanpa menghiraukan apa yang telah menimpah teman sebanyanya baik itu terasa sakit ataupun sebaliknya, semua disambut dengan cadaan dan tawa yang riang, tanpa mengetahui salah dan benar.

Biduan malam yang menggairahkan..!!!
Suara alam yang liar mengharuskan aku untuk berlutut dan pasrah dengan kehendaknya, mereka bermain dengan irama yang mengujat bumi ersingkir dengan kerasnya malam, terhayut dalam rayuan sang gelombang rindu
Dia memberiku isyarat untuk berbicara kepadanya, menggunakan nada yang khas dan lembut, aku mencoba tersenyum dan memulai menggerakkan bibir dan memulai kata disela-sela sudut yang remang, segerombolan anak bermain dan saling meneriaki, entah dengan maksud dan arti tak semestinya dia mencoba membuka lembar demi lembar untuk membacakan aku sebuah hikayat suci sang suffi terjelma dalam diksi yang tertutupi fiksi.

****-:



iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Related Posts